Masjid Al-Aqsa
Masjid Al-Aqsa, juga ditulis Al-Aqsha (bahasa Arab:المسجد الاقصى, Al-Masjid Al-Aqsha (bantuan·info),
arti harfiah: "masjid terjauh") adalah salah satu tempat suci agama Islam yang menjadi bagian dari
kompleks bangunan suci di Kota Lama Yerusalem (Yerusalem
Timur). Kompleks tempat masjid ini (di dalamnya juga termasuk Kubah Batu) dikenal oleh umat Islam dengan
sebutan Al-Haram Asy-Syarif atau
"tanah suci yang mulia". Tempat ini oleh umat Yahudi dan Kristen dikenal pula dengan sebutan Bait Suci (bahasa Ibrani: הַר הַבַּיִת, Har haBáyit, bahasa Inggris: Temple Mount),
suatu tempat paling suci dalam agama Yahudi yang umumnya dipercaya merupakan
tempat Bait Pertama dan Bait Kedua dahulu
pernah berdiri.
Masjid
Al-Aqsa secara luas dianggap sebagai tempat suci ketiga oleh umat Islam. Muslim
percaya bahwa Muhammad diangkat keSidratul Muntaha dari tempat ini setelah
sebelumnya dibawa dari Masjid Al-Haram di Mekkah ke Al-Aqsa dalam peristiwa Isra' Mi'raj. Kitab-kitab hadist menjelaskan bahwa Muhammad mengajarkan umat
Islam berkiblat ke arah Masjid Al-Aqsa (Baitul Maqdis) hingga 17 bulan setelah hijrah
ke Madinah. Setelah itu kiblat salat adalah Ka'bah di dalam Masjidil Haram, Mekkah, hingga sekarang.
Pengertian Masjid Al-Aqsa pada peristiwa Isra' Mi'raj dalam Al-Qur'an (Surah Al-Isra' ayat 1) meliputi seluruh
kawasan Al-Haram Asy-Syarif.
Masjid
Al-Aqsa pada awalnya adalah rumah ibadah kecil yang didirikan oleh Umar bin Khattab, salah seorang Khulafaur Rasyidin,
tetapi telah diperbaiki dan dibangun kembali oleh khalifah Umayyah Abdul Malik dan
diselesaikan oleh putranya Al-Walid pada
tahun 705 Masehi. Setelah gempa bumi tahun 746, masjid ini hancur
seluruhnya dan dibangun kembali oleh khalifah Abbasiyah Al-Mansurpada tahun 754, dan dikembangkan lagi
oleh penggantinya Al-Mahdi pada tahun
780. Gempa berikutnya menghancurkan sebahagian besar Al-Aqsa pada tahun 1033,
namun dua tahun kemudian khalifah Fatimiyyah Ali Azh-Zhahir membangun kembali masjid
ini yang masih tetap berdiri hingga kini.
Dalam berbagai renovasi berkala yang
dilakukan, berbagai dinasti kekhalifahan Islam telah
melakukan penambahan terhadap masjid dan kawasan sekitarnya, antara lain pada
bagian kubah, fasad, mimbar, menara, dan interior
bangunan. Ketika Tentara Salib menaklukkan Yerusalem pada tahun 1099, mereka
menggunakan masjid ini sebagai istana dan gereja, namun fungsi masjid
dikembalikan seperti semula setelah Shalahuddin merebut
kembali kota itu. Renovasi, perbaikan, dan penambahan lebih lanjut dilakukan
pada abad-abad kemudian oleh para penguasa Ayyubiyah, Mamluk, Utsmaniyah, Majelis Tinggi Islam,
dan Yordania. Saat ini, Kota Lama Yerusalem berada
di bawah pengawasan Israel, tetapi masjid ini tetap berada di bawah perwalian
lembaga wakaf Islam pimpinan orang Palestina.
Pembakaran
Masjid Al-Aqsa pada tanggal 21 Agustus 1969 telah
mendorong berdirinya Organisasi
Konferensi Islam yang saat ini beranggotakan 57 negara. Pembakaran tersebut juga menyebabkan mimbar kuno Shalahuddin Al-Ayyubi terbakar
habis. Dinasti Bani
Hasyim penguasa Kerajaan Yordania telah menggantinya dengan mimbar
baru yang dikerjakan di Yordania, meskipun ada
pula yang menyatakan bahwa mimbar buatan Jepara digunakan di masjid ini.
Pra konstruksi
Area masjid ini dahulu adalah bagian perluasan
pembangunan bukit oleh Raja Herodes Agung,
yang dimulai pada tahun 20 SM. Herodes memerintahkan tukang batu untuk memotong
permukaan batu di sisi timur dan selatan bukit, dan melapisinya. Sisa-sisa
pembangunan tersebut saat ini masih dapat ditemukan di beberapa
lokasi. Ketika Bait Kedua masih
berdiri, situs tempat masjid saat ini berdiri disebut dengan nama Serambi Salomo, dan pada tiap sisinya terdapat
gudang kuil yang dinamakan chanuyot, yang memanjang sampai ke sisi
selatan bukit.
Konstruksi tiang-tiang kolom besar persegi di
bagian utara masjid serta tembok-temboknya, baru-baru ini ditetapkan memiliki
usia jauh lebih tua daripada yang diperkirakan sebelumnya oleh
peneliti-peneliti terdahulu (berdasarkan tulisan para saksi mata dari masa
itu), yaitu bahwa konstruksi tersebut berasal dari masa kekuasaan Romawi.
Tembok-tembok tersebut dibangun kembali atau diperkuat tidak lama setelah
penghancuran Yerusalem pada tahun 70 Masehi. Struktur bawah tanah bangunan ini
berasal dari masa kembalinya orang Yahudi dari pembuangan Babilonia mereka,
yaitu 2.300 tahun yang lalu.
Situasi politik telah menyebabkan penggalian
lebih lanjut di area tersebut tidak memungkinkan. Pada saat gempa bumi tahun
1930-an merusak masjid ini, penanggalan atas beberapa bagian yang terbuat dari
kayu sempat dilakukan, yang menunjukkan kurun 900 SM. Kayu-kayu tersebut
adalah cypress (sejenis cemara) dan akasia. Jenis yang disebut terakhir menurut Alkitab digunakan oleh RajaSalomo dalam konstruksi bangunan-bangunannya di bukit
tersebut pada sekitar 900 SM. Bersama dengan Bait Suci, chanuyot yang
ada ikut hancur oleh serangan Kaisar Romawi Titus (saat
itu masih jenderal) pada tahun 70. Kaisar Yustinianus membangun sebuah gereja Kristen di situs ini pada tahun 530-an, yang
dipersembahkan bagi Perawan Maria dan
dinamakan "Gereja Bunda Kita". Gereja ini belakangan dihancurkan
oleh Kaisar Sassania Khosrau II pada awal abad ke-7, hingga
tersisa sebagai reruntuhan.
Konstruksi Umayyah
Tidak
diketahui secara tepat kapan Masjid Al-Aqsa pertama kali dibangun dan siapa
yang memerintahkan pembangunannya, namun dapat dipastikan bahwa pembangunannya
dilakukan pada masa awal pemerintahan Umayyah di Palestina. Berdasarkan kesaksian Arculf, seorang biarawan Galia yang
berziarah ke Palestina pada
679-82, sejarawan arsitektur Sir Archibal Creswell berpendapat
bahwa Umar bin Khattab mungkin
adalah orang yang pertama kali mendirikan bangunan persegi empat primitif
berkapasitas 3.000 jamaah di suatu tempat di Al-Haram Asy-Syarif (Bukit
Bait Suci). Bagaimanapun juga, Arculf mengunjungi Palestina pada masa
pemerintahan Muawiyah bin Abu
Sufyan. Dengan demikian, adalah mungkin bahwa Muawiyah lah yang
memerintahkan pembangunan dan bukan Umar. Pendapat terakhir ini didukung oleh
tulisan dari ulama Yerusalem awal Al-Mutahhar bin Tahir Al-Maqdisi. Analisis
atas panel dan balok kayu yang diambil dari bangunan ini selama renovasi pada
tahun 1930-an menunjukkan bahwa kayu-kayu tersebut adalah cedar Libanon dan cypress.
Penanggalan radiokarbon menunjukkan berbagai macam usia, beberapa bahkan setua
abad ke-9 SM, yang menunjukkan bahwa beberapa dari kayu tersebut sebelumnya
telah digunakan pada bangunan-bangunan yang lebih tua.
Menurut
beberapa ulama Islam, antara lain Mujiruddin Al-Ulaimi, Jalaluddin As-Suyuthi, dan Syamsuddin Al-Maqdisi,
masjid ini dibangun kembali dan diperluas oleh Khalifah Abdul Malik bin
Marwan pada 690 bersama dengan Kubah Batu.
Guy le Strange mengklaim
bahwa Abdul Malik menggunakan bahan-bahan dari Gereja Bunda Kita yang hancur
untuk membangun masjid dan menunjukkan bukti bahwa kemungkinan substruktur di
sudut tenggara masjid adalah sisa-sisa gereja tersebut. Dalam merencanakan
proyek megahnya di Bukit Bait Suci, yang pada akhirnya akan mengubah
keseluruhan kompleks itu menjadi Al-Haram Asy-Syarif ("tanah
suci yang mulia"), Abdul Malik ingin mengubah bangunan primitif
sebagaimana digambarkan oleh Arculf menjadi struktur yang lebih terlindung yang
melingkupi kiblat, suatu faktor penting dalam skema
lengkap rancangannya. Namun demikian, seluruh Al-Haram Asy-Syarif itu
dimaksudkan untuk melambangkan masjid. Seberapa banyak perubahan yang ia
lakukan pada aspek bangunan sebelumnya tidak diketahui, tetapi panjang bangunan
baru ditunjukkan dengan adanya bekas jembatan yang mengarah ke istana Umayyah,
yang terletak di sebelah selatan dari bagian barat kompleks. Jembatan
kemungkinan dahulunya membentang dari jalan di luar tembok selatan Al-Haram
Asy-Syarif, sebagai akses langsung menuju masjid.
Adanya akses langsung
dari istana ke masjid adalah sebuah ciri khas yang terkenal pada masa Umayyah,
sebagaimana terdapat pada situs-situs awal lainnya. Abdul Malik menggeser poros
tengah masjid sekitar 40 meter ke arah barat, sesuai dengan rencana lengkapnya
atas Al-Haram Asy-Syarif. Poros bangunan sebelumnya yang berbentuk
sebuah ceruk, saat ini masih dikenal dengan sebutan "Mihrab Umar".
Karena memperhatikan benar posisi Kubah Batu, Abdul Malik meminta arsiteknya
menyejajarkan Masjid Al-Aqsa yang baru dengan posisi batu Ash-Shakhrah, sehingga sumbu utama
utara-selatan Bukit Bait Suci yang sebelumnya, yaitu garis yang melaluiKubah Silsilah dan Mihrab Umar, menjadi
bergeser.
Creswell,
yang merujuk pada Papyri Aphrodito, sebaliknya mengklaim bahwa Al-Walid bin Abdul
Malik adalah yang membangun kembali Masjid Al-Aqsa selama
periode enam bulan sampai satu tahun, dengan para pekerja dari Damaskus. Kebanyakan peneliti berpendapat
bahwa rekonstruksi masjid dimulai oleh Abdul Malik, namun Al-Walid lah yang
mengawasinya hingga selesai. Dalam tahun 713-714, serangkaian gempa bumi telah
merusak Yerusalem dan menghancurkan bagian timur masjid, yang akhirnya dibangun
kembali pada masa pemerintahan Al-Walid tersebut. Untuk membiayai rekonstruksi
ini, Al-Walid memerintahkan emas dari Kubah Ash-Shakhrah dicetak sebagai
sebagai uang logam untuk membeli bahan-bahan bangunan. Masjid Al-Aqsa yang
dibangun Umayyah kemungkinan besar berukuran 112 x 39 meter.
Gempa bumi dan pembangunan kembali
Pada
tahun 746, Masjid Al-Aqsa rusak akibat gempa bumi, yaitu empat tahun sebelum Abul Abbas As-Saffah menggulingkan
Ummayah dan mendirikan kekhalifahan
Abbasiyah. Khalifah Abbasiyah yang kedua Abu Jafar Al-Mansur pada tahun 753 menyatakan
niatnya untuk memperbaiki masjid itu. Ia memerintahkan agar lempengan emas dan
perak yang menutupi gerbang masjid dilepaskan dan dicetak menjadi uang dinar dan dirham untuk membiayai kegiatan rekonstruksi, yang
diselesaikan pada tahun 771. Gempa kedua yang terjadi pada tahun 774 kemudian
merusak sebagian besar perbaikan Al-Mansur itu, kecuali perbaikan pada bagian
selatan masjid. Pada tahun 780, khalifah selanjutnya Muhammad Al-Mahdi membangunnya kembali,
tapi ia mengurangi panjangnya serta memperbesar lebarnya. Renovasi
Al-Mahdi adalah renovasi pertama yang diketahui memiliki catatan tertulis yang
menjelaskan hal itu. Pada tahun 985, seorang ahli geografi Arab kelahiran
Yerusalem bernama Al-Maqdisi mencatat
bahwa masjid hasil renovasi memiliki "lima belas lengkungan dan lima belas
gerbang".
Pada
tahun 1033 terjadi lagi sebuah gempa bumi, yang sangat merusak masjid. Antara
tahun 1034 dan 1036, khalifah Fatimiyah Ali Azh-Zhahir membangun kembali dan
merenovasi masjid secara menyeluruh. Jumlah lengkungan secara drastis dikurangi
dari lima belas menjadi tujuh. Azh-Zhahir membangun empat buah arkade untuk
aula tengah dan lorong, yang saat ini berfungsi sebagai fondasi masjid. Aula
tengah diperbesar dua kali lipat dari lebar lorong lainnya, dan memiliki ujung
atap besar yang di atasnya dibangun sebuah kubah dari kayu
Yerusalem
direbut oleh Tentara Salib pada
tahun 1099, selama Perang Salib Pertama.
Alih-alih menghancurkan masjid, yang mereka sebut "Bait Salomo", Tentara Salib
menggunakannya sebagai istana kerajaan dan kandang kuda. Pada tahun 1119,
tempat ini berubah menjadi markas para Ksatria Templar. Selama periode ini, mesjid
mengalami beberapa perubahan struktural, termasuk perluasan serambi utara,
penambahan apse, dan sebuah dinding pembatas. Sebuah
kloster baru dan sebuah gereja juga dibangun di situs tersebut, bersama dengan
beberapa struktur bangunan lainnya.
Para Ksatria Templar membangun pavilyun
berkubah di sisi barat dan timur bangunan. Pavilyun barat saat ini berfungsi
sebagai masjid untuk kaum wanita dan pavilyun timur berfungsi sebagai Museum
Islam.
Setelah Shalahuddin Al-Ayyubi berhasil
memimpin Ayyubiyah merebut kembali Yerusalem melalui pengepungan pada tahun
1187, beberapa perbaikan dilakukan atas Masjid Al-Aqsa. Nuruddin Zengi yang menjadi sultan
sebelum Shalahuddin, sebelumnya telah menugaskan pembangunan mimbar baru yang terbuat dari gading dan kayu pada tahun 1168-1169, namun mimbar itu
baru selesai setelah ia wafat. Mimbar Nuruddin telah ditambahkan oleh
Shalahuddin ke masjid pada bulan November 1187. Penguasa Ayyubiyah di Damaskus,
Sultan Al-Muazzam, pada tahun 1218 membangun serambi utara masjid dengan tiga
buah gerbang. Pada tahun 1345, penguasa Mamluk di bawah pemerintahan Al-Kamil Shaban
menambahkan dua lengkungan dan dua gerbang pada bagian timur masjid.
Setelah Utsmaniyah merebut kekuasaan pada 1517,
mereka tidak melakukan renovasi atau perbaikan besar atas masjid itu, namun
mereka melakukan perbaikan pada Al-Haram Asy-Syarif (Bukit
Bait Suci) secara keseluruhan. Hal ini termasuk antara lain pembangunan Air Mancur Qasim
Pasha (1527), perbaikan kembali Kolam Raranj, serta pembangunan tiga kubah
yang berdiri bebas. Kubah yang paling terkenal ialah Kubah Nabi, dibangun pada tahun 1538. Semua
pembangunan adalah atas perintah para gubernur Utsmaniyah di Yerusalem dan
bukan atas perintah para sultan. Walaupun demikian, para sultan melakukan
penambahan pada menara-menara yang telah ada
Masa modern
Renovasi pertama pada abad ke-20 dilakukan pada tahun 1922, yaitu setelah Majelis Tinggi Islam Yerusalem di bawah pimpinan Amin Al-Husseini mempekerjakan Ahmet Kemalettin Bey, seorang arsitek berkebangsaan Turki, untuk merestorasi Masjid al-Aqsa dan monumen-monumen di sekitarnya.
Dewan tersebut juga menugaskan arsitek-arsitek Inggris, ahli-ahli Mesir, dan para pejabat lokal untuk ikut berpartisipasi dan mengawasi perbaikan yang dilakukan pada tahun 1924–25 di bawah pengawasan Kemalettin. Renovasi meliputi penguatan fondasi kuno masjid Umayyah, perbaikan tiang-tiang kolom interior, penggantian balok-balok, pendirian perancah, perawatanlengkungan dan bagian dalam kubah, pendirian kembali dinding selatan, serta penggantian tiang kayu di ruangan tengah dengan tiang beton.
Renovasi tersebut juga menampilkan kembali mosaik era Fatimiyah dan kaligrafi di lengkungan-lengkungan interior yang sebelumnya tertutupi oleh lapisan pelapis. Lengkungan-lengkungan dihiasi dengan gipsum berwarna hijau dan emas dan balok kayu landasannya digantikan dengan tembaga. Seperempat dari jendela kaca patri juga diperbaharui dengan hati-hati agar dapat melestarikan desain asli Abbasiyah dan Fatimiyahnya. Kerusakan hebat telah terjadi karena gempa bumi tahun 1927 dan 1937, namun masjid itu diperbaiki kembali pada tahun 1938 dan 1942.
Pada tanggal 21
Agustus 1969, terjadi kebakaran di dalam Masjid Al-Aqsa, yang memusnahkan
bangunan bagian tenggara masjid. Mimbar Salahuddin adalah termasuk di antara
barang-barang yang rusak terbakar. Orang-orang Palestina awalnya menyalahkan otoritas
Israel atas kebakaran tersebut, dan beberapa orang Israel menyalahkan Fatah dan
menganggap bahwa mereka yang menyulut sendiri apinya, agar dapat menyalahkan
Israel dan memancing permusuhan. Namun kemudian terbukti bahwa kebakaran itu
bukan disebabkan oleh Fatah maupun Israel, melainkan oleh seorang turis
Australia bernama Denis Michael Rohan. Rohan adalah anggota dari sekte evangelis Kristen Worldwide Church of
God.
Ia berharap bahwa dengan membakar Masjid Al-Aqsa, ia dapat
mempercepatKedatangan
Kedua Yesus, dengan cara mempermudah dibangunnya
kembali Bait Suci Yahudi di Bukit Bait Suci. Rohan dirawat di lembaga perawatan
mental, didiagnosa mengalami gangguan kejiwaan, dan akhirnya dideportasi.
Serangan terhadap Al-Aqsa disebut-sebut sebagai salah satu penyebab dibentuknya Organisasi
Konferensi Islam pada tahun 1971, yang merupakan organisasi
dari 57 negara yang banyak berpenduduk Islam.
Pada
tahun 1980-an, Ben Shoshan dan Yehuda Etzion, keduanya anggota kelompok bawah
tanah Gush Emunim,
merencanakan untuk meledakkan Masjid Al-Aqsa dan Kubah Batu. Etzion berpendapat bahwa
meledakkan dua bangunan tersebut akan menyebabkan kebangkitan spiritual Israel,
dan menyelesaikan semua permasalahan orang Yahudi. Mereka juga berharap bahwa Bait Suci Ketiga di Yerusalem dapat
didirikan di atas lokasi tersebut. Rencana mereka mengalami kegagalan karena
lebih dahulu diketahui pihak kepolisian.
Pada tanggal 15 Januari 1988,
yaitu saat berlangsungnya Intifadah Pertama, pasukan Israel menembakkan peluru karet dangas air mata kepada para demonstran di
luar masjid, mengakibatkan 40 orang jemaah luka-luka. Pada tanggal 8 Oktober
1990, dalam suatu kerusuhan 22 orang warga Palestina terbunuh dan lebih dari
100 lainnya luka-luka karena tindakan keras Polisi Perbatasan
Israel. Kerusuhan dipicu oleh pengumuman dari Gerakan
Setia Bait Suci, suatu kelompok Yahudi Ortodoks, yang menyatakan
bahwa mereka akan meletakkan batu pertama untuk pembangunan Bait Suci Ketiga
Kubah
Berbeda
dengan Kubah Batu yang
mencerminkan arsitektur Byzantium klasik, kubah Masjid Al-Aqsa menunjukkan ciri arsitektur Islam awal. Kubah yang
asli dibangun oleh Abdul Malik bin
Marwan, namun sekarang sudah tidak ada lagi sisanya. Bentuk kubah
seperti yang ada saat ini awalnya dibangun oleh Ali Azh-Zhahir dan terbuat dari kayu yang
disepuh dengan lapisan enamel timah. Pada tahun 1969, kubah dibangun
kembali dengan menggunakan beton dan dilapisi dengan aluminium yang dianodisasi
sebagai ganti dari bentuk aslinya yaitu lapisan enamel timah yang berusuk. Pada
tahun 1983, aluminium yang menutupi bagian luar diganti lagi dengan timah untuk
menyesuaikan dengan desain asli Azh-Zhahir.
Kubah
Al-Aqsa adalah salah satu dari sedikit masjid dengan kubah yang dibangun di
depan mihrab selama periode Umayyah danAbbasiyah, contoh lainnya adalah Masjid Umayyah di Damaskus (715) dan Masjid Besar Sousse (850). Interior kubah dicat menurut
dekorasi era abad ke-14. Pada kabakaran tahun 1969, cat dekoratif itu rusak dan
sempat dianggap sudah tidak dapat diperbaiki lagi. Namun dengan menggunakan
teknik trateggio, yaitu sebuah metode yang menggunakan garis-garis
vertikal halus untuk membedakan daerah yang direkonstruksi dengan daerah yang
asli, akhirnya dapat diperbaiki kembali dengan sempurna.
Menara
masjid
Masjid ini memiliki
empat menara di sisi selatan, utara, dan barat. Menara pertama, dikenal sebagai Al-Fakhariyyah, dibangun pada
tahun 1278 di bagian barat daya masjid atas perintah sultan Mamluk, Lajin. Menara ini dibangun dalam gaya tradisional Suriah, dengan landasan dan poros bangunan berbentuk persegi, serta
dibagi menjadi tiga lantai dengan cetakan hias. Pada bagian atasnya terdapat
dua deret muqarnas (ceruk hias) sebagai dekorasi untuk balkon muazzin. Ceruk hias ini dilingkupi oleh suatu bilik persegi, yang
pada bagian atasnya terdapat kubah batu berlapis timah.
Menara kedua, yang dikenal dengan
nama Al-Ghawanimah, dibangun di sisi barat laut Al-Haram
Asy-Syarif (Bukit
Bait Suci) pada tahun 1297–98 oleh arsitek Qadi Sharafuddin Al-Khalili, atas
perintah Sultan Lajin. Menara ini memiliki tinggi 37 meter. dan hampir
seluruhnya terbuat dari batu, selain dari kanopi kayu yang terletak di atas
balkon muazzin.
Karena struktur bangunannya yang kokoh, menara Al-Ghawanimah hampir tidak
terpengaruh oleh berbagai gempa bumi yang terjadi. Menara ini dibagi menjadi
beberapa tingkat oleh cetakan batu dan galeri-galeri dengan bentuk hiasan
menyerupai stalaktit. Dua tingkat pertama berukuran lebih
luas dan menjadi landasan menara. Keempat tingkat selanjutnya dilingkupi oleh
ruangan berbentuk silinder dan sebuah kubah bulat. Tangga untuk dua lantai
pertama terletak di luar bangunan, tetapi kemundian menjadi tangga dalam
berbentuk spiral sejak dari lantai tiga sampai mencapai balkonmuazzin.
Tankiz, gubernur Mamluk di Suriah,
pada tahun 1329 memerintahkan pembangunan menara ketiga yang dikenal sebagai
Bab Al-Silsilah. Menara ini terletak di sisi barat Masjid Al-Aqsa. Menara ini,
yang mungkin dibangun untuk menggantikan menara Umayyah sebelumnya, dibangun
berbentuk persegi menurut gaya tradisional Suriah dan seluruhnya terbuat dari
batu. Berdasarkan tradisi lama Muslim setempat muazzin terbaik
melakukan azan dari
menara ini, karena seruan azan pertama
untuk setiap awal salat lima waktu selalu dikumandangkan dari sini.
Menara terakhir dan yang paling
terkenal adalah Bab Al-Asbat. Menara ini dibangun pada tahun 1367. Menara ini
berupa poros batu silinder (dibangun kemudian pada masa Utsmaniyah), yang berdiri di atas landasan
berbentuk persegi panjang dari masa Mamluk, dan di terdapat formasi transisi
yang berbentuk segitiga. Poros
bangunan menyempit pada bagian balkon muazzin, dilengkapi beberapa
jendela melingkar, serta
pada bagian atasnya terdapat kubah berbentuk bulat.
Kubah ini dibangun kembali setelah terjadinya gempa bumi
Lembah Yordan 1927.
Di bagian timur masjid tidak terdapat
menara karena dalam sejarah dahulu sangat sedikit penduduk di sisi tersebut,
sehingga tidak diperlukan menara tambahan untuk menyerukan azan.
Namun, Raja Abdullah II
dari Yordania pada
tahun 2006 mengumumkan keinginannya untuk membangun menara kelima yang
menghadap ke Bukit Zaitun. Menara Raja Hussein ini nantinya direncanakan
menjadi struktur bangunan tertinggi di Kota Tua Yerusalem.
Fasad dan serambi
Bagian depan (fasad)
masjid ini dibangun pada 1065 Masehi atas perintah khalifah Fatimiyah Al-Mustanshir. Di bagian muka terdapat
bangunan pagar langkan (balustrade) berupa lorong-lorong beratap (arkade)
dengan tiang-tiang kolom kecil. Tentara Salib merusak
fasad ini ketika mereka memerintah Palestina, namun Ayyubiyah memperbaiki
dan membangunnya kembali. Fasad juga mengalami penambahan berupa penempelan
ubin pada dindingnya. Bahan bekas pakai yang digunakan untuk membangun
lengkungan fasad antara lain termasuk bahan hias pahatan yang diambil dari
bangunan-bangunan Tentara Salib di Yerusalem. Terdapat empat belaslengkungan batu
di sepanjang fasad, sebagian besar bergaya Romantik. Mamluk menambahkan
lengkungan-lengkungan terluar, yang dibangun dengan mengikuti desain yang sama.
Pintu masuk ke masjid adalah dengan melalui lengkungan tengah pada fasad
tersebut.
Sebuah bangunan serambi (bilik)
terletak di bagian atas fasad ini. Bagian tengah serambi dibangun oleh Ksatria Templar pada
masaPerang Salib Pertama,
namun Al-Muazzam kemenakan
Shalahuddin adalah yang memerintahkan dibangunnya bangunan serambi itu sendiri
pada tahun 1217
Interior
Masjid Al-Aqsa
memiliki tujuh buah lorong dengan ruang yang ditunjang oleh tiang-tiang
melengkung (hypostyle nave), serta beberapa ruang kecil tambahan di sisi
sebelah barat dan timur pada bangunan masjid bagian selatan. Terdapat pula 121 jendela kaca patri dari era Abbasiyah dan Fatimiyah, dimana seperempatnya telah selesai direstorasi pada tahun
1924.
Ruangan dalam masjid
memiliki 45 tiang kolom, 33 diantaranya terbuat dari marmer putih dan 12 lainnya dari batu. Barisan tiang kolom pada lorong-lorong tengah berbentuk kokoh
dan kerdil, dengan ukuran lingkar 30,6 cm dan tinggi 54 cm, akan
tetapi empat barisan tiang kolom lainnya memiliki ukuran yang lebih lebih
proporsional. Terdapat empat jenis desain yang berbeda untuk bagian kepala
tiang kolom. Kepala tiang di lorong tengah berbentuk kokoh dan berdesain
primitif, sedangkan kepala tiang yang di bawah kubah berdesain gaya Korintus dan
terbuat dari marmer putih Italia. Kepala tiang di lorong timur memiliki desain berbentuk
keranjang yang besar, sementara kepala tiang di sebelah timur dan barat kubah
juga berbentuk keranjang tetapi berukuran lebih kecil dan lebih proporsional.
Terdapat palang penghubung antara tiang kolom dan tembok penyangga yang satu
dengan yang lainnya, yang terbuat dari balok kayu yang dipotong sederhana dan
berlapis selubung kayu dengan ukiran seadanya.
Banyak bagian masjid yang hanya
dilabur kapur putih, tetapi bagian dalam kubah dan dinding-dinding yang tepat
di bawahnya penuh dengan dekorasi mozaik dan
marmer. Beberapa karya lukisan yang tidak begitu baik dari seorang seniman
Italia pernah diletakkan di sana ketika perbaikan sedang dilakukan pada masjid,
setelah gempa bumi tahun 1927. Bagian langit-langit masjid juga dicat dengan
pendanaan dari Raja Farouk dari Mesir.
Mimbar masjid
dibuat oleh seorang pengrajin bernama Akhtarini yang berasal dari Aleppo atas
perintah Sultan Nuruddin Zengi. Mimbar tersebut dimaksudkan
sebagai hadiah untuk masjid ketika Nuruddin membebaskan Yerusalem, dan
pengerjaannya memakan waktu selama enam tahun (1168-1174). Ternyata Nuruddin meninggal
ketika Tentara Salib masih
memegang kendali atas Yerusalem, namun ketika Shalahuddin berhasil merebut kota
itu pada tahun 1187, mimbar tersebut lalu dipasang. Struktur mimbar terbuat
dari gading dan
kayu yang dipahat secara hati-hati.Kaligrafi Arab dan
desain-desain berbentuk geometris dan bunga terukir pada bagian-bagian kayu
mimbar tersebut. Setelah hancur karena perbuatan Rohan pada tahun 1969, mimbar
itu digantikan oleh mimbar lain yang dekorasinya jauh lebih sederhana. Adnan
Al-Hussaini, kepala lembaga wakaf Islam yang bertanggung jawab atas Al-Aqsa,
pada bulan Januari 2007 menyatakan bahwa akan dibuat sebuah mimbar baru, dan
pada bulan Februari 2007 mimbar baru tersebut telah selesai dipasang. Desain
mimbar baru ini dibuat oleh Jamil Badran berdasarkan replika yang seksama dari
mimbar Shalahuddin, dan pengerjaannya diselesaikan oleh Badran dalam waktu lima
tahun. Mimbar
itu dikerjakan di Yordania selama
empat tahun, dan para pengrajin menggunakan "metode kuno dalam pengukiran
kayu, menggabungkan potongan-potongan dengan pasak dan bukan paku, namun
menggunakan pencitraan komputer untuk desain mimbarnya.
Air mancur tempat wudhu
Air mancur tempat wudhu utama,
yang bernama al-Kas ("mangkuk"),
terletak di bagian utara yaitu antara masjid dan Kubah Batu. Para jamaah
menggunakannya untuk wudhu, yaitu ritual pencucian wajah, lengan, rambut,
telinga, dan kaki yang dilakukan umat Islam sebelum beribadah, termasuk di
masjid. Bangunan ini pertama kali dibangun pada tahun 709 pada masa
pemerintahan Umayyah, tetapi antara tahun 1327-1328 Gubernur Tankiz
memperbesarnya untuk dapat melayani lebih banyak jamaah. Meskipun pada awalnya
air berasal dariKolam Salomo yang
ada di dekat Betlehem, saat ini air berasal dari pipa yang
terhubung ke sumber air kota Yerusalem. Renovasi
al-Kas pada abad ke-20 telah menambahkannya dengan keran air dan tempat duduk
batu.
Air Mancur Qasim
Pasha dibangun
pada masa pemerintahan Utsmaniyah tahun
1526 dan terletak di sebelah utara masjid, yaitu pada serambi Kubah Batu. Air
mancur ini sebelumnya juga pernah digunakan oleh para jamaah untuk wudhu dan
minum sampai dengan tahun 1940-an, namun saat ini hanya berfungsi sebagai
monumen saja
Kiblat pertama
Sejarah penting Masjid Al-Aqsa dalam
Islam juga mendapatkan penekanan lebih lanjut, karena umat Islam ketika salat pernah
berkiblat ke
arah Al-Aqsa selama empat belas atau tujuh belas bulan setelah
peristiwa hijrah mereka
ke Madinah tahun
624. Menurut Allamah
Thabathaba'i, Allah menyiapkan umat Islam untuk perpindahan kiblat
tersebut, pertama-tama dengan mengungkapkan kisah tentang Ibrahim dan
anaknya Ismail, doa-doa mereka untuk Ka'bah dan Mekkah, upaya
mereka membangun Baitullah (Ka'bah), serta perintah membersihkannya untuk
digunakan sebagai tempat beribadah kepada Allah. Kemudian diturunkanlah
ayat-ayat Al-Qur'an yang memerintahkan umat Islam untuk menghadap ke arah Masjid Al-Haram dalam salat mereka.
Perubahan arah kiblat adalah alasan
mengapa Umar bin Khattab, salah seorang Khulafaur Rasyidin,
tidak salat menghadap
batu Ash-Shakhrah di
Bukit Bait Suci ataupun membangun bangunan di sekitarnya; meskipun ketika Umar
tiba di sana pada tahun 638, ia mengenali batu tersebut yang diyakini sebagai
tempat Muhammad memulai perjalanannya naik ke surga. Hal ini karena berdasarkan yurisprudensi
Islam, setelah arah kiblat berpindah, maka Kab'ah di Mekkah telah
menjadi lebih penting daripada tempat batu Ash-Shakhrah di Bukit Bait Suci
tersebut.
Berdasarkan riwayat-riwayat yang umum
dikenal dalam tradisi Islam, Umar memasuki Yerusalem setelah penaklukannya pada
tahun 638. Ia diceritakan bercakap-cakap denganKa'ab Al-Ahbar, seorang Yahudi yang
telah masuk Islam dan ikut datang bersamanya dari Madinah, mengenai tempat terbaik untuk
membangun sebuah masjid. Al-Ahbar menyarankan agar masjid dibangun di belakang
batu Ash-Shakhrah "... maka seluruh Al-Quds (berada) di depan Anda".
Umar menjawab, "Ka'ab, Anda sudah meniru ajaran Yahudi". Namun
demikian, segera setelah percakapan ini Umar dengan jubahnya mulai membersihkan
tempat yang telah dipenuhi dengan sampah dan puing-puing tersebut. Demikian
pula kaum Muslim pengikutnya turut serta membersihkan tempat itu. Umar kemudian
mendirikan salat di
tempat yang diyakini sebagai tempat salat Muhammad
pada saat Isra
Mi'raj, dan Umar di tempat itu membacakan ayat-ayat Al-Qur'an
dari Surah Sad. Oleh
karenanya, berdasarkan riwayat tersebut maka Umar dianggap telah menyucikan
kembali situs tersebut sebagai masjid.
Mengingat kesucian Bukit Bait Suci,
sebagai tempat yang dipercayai pernah digunakan untuk berdoa oleh Ibrahim, Daud,
dan Sulaiman, maka Umar mendirikan sebuah rumah
ibadah kecil di sudut sebelah selatan area tersebut. Ia secara berhati-hati
menghindarkan agar batu Ash-Shakhrah tidak terletak di antara masjid itu dan Ka'bah, sehingga umat Islam hanya akan
menghadap ke arah Mekkah saja ketika mereka salat
Status religius
Yerusalem oleh banyak kalangan umat
Islam dianggap sebagai tempat yang suci, sesuai penafsiran mereka atas
ayat-ayat suci Al-Qur'an dan berbagai hadist. Abdallah El-Khatib berpendapat
bahwa kira-kira terdapat tujuh puluh tempat di dalam Al-Qur'an di mana
Yerusalem disebutkan secara tersirat. Yerusalem
juga sering disebut-sebut di dalam kitab-kitab hadist. Beberapa akademisi
berpendapat bahwa status kesucian Yerusalem mungkin dipengaruhi oleh
meningkatnya penyebarnya sejenis genre sastra tertentu, yaitu Al-Fadhail (sejarah
kota-kota); sehingga kaum Muslim yang terinspirasi, khususnya selama periode
Umayyah, mengangkat status kesucian kota itu melebihi statusnya menurut kitab
suci. Akademisi-akademisi lainnya mempertanyakan keberadaan motif-motif politik
Dinasti Umayyah, sehingga Yerusalem kemudian dianggap suci bagi umat Islam.
Naskah-naskah abad pertengahan,
sebagaimana pula tulisan-tulisan politis era moderen ini, cenderung menempatkan
Masjid Al-Aqsa sebagai tempat suci ketiga bagi umat Islam. Sebagai contoh,
kitab Sahih Bukhari mengutip Abu Hurairah dari
Nabi Muhammad SAW, yang mengatakan: "Janganlah perjalanan itu memberatkan
(kamu) kecuali ke tiga masjid yaitu Masjid Al-Haram, Masjid Rasulullah SAW, dan Masjid
Al-Aqsa". Selain itu, Organisasi
Konferensi Islam (yang
alasan pendiriannya adalah "untuk membebaskan Al-Aqsa dari pendudukan
Zionis [Israel]") menyebut Masjid Al-Aqsa dalam sebuah resolusi yang
mengutuk tindakan-tindakan Israel pada kota itu, sebagai tempat tersuci ketiga
bagi umat Islam.
Situasi Saat ini :
Administrasi
Kementerian Wakaf Yordania memegang
kontrol atas Masjid Al-Aqsa hingga Perang Enam Hari tahun
1967. Setelah memenangkan perang, Israel menyerahkan kekuasaan masjid dan Bukit
Bait Suci kepada lembaga wakaf Islam
yang independen dari pemerintahan Israel. Namun, Angkatan
Pertahanan Israel diperbolehkan
berpatroli dan melakukan pencarian di wilayah masjid. Setelah pembakaran tahun
1969, lembaga wakaf tersebut mempekerjakan arsitek, teknisi, dan pengrajin
dalam sebuah komite untuk melakukan perawatan. Untuk mengimbangi berbagai
kebijakan Israel dan semakin meningkatnya kehadiran pasukan keamanan Israel di
sekitar lokasi ini sejak Intifadah Al-Aqsa, Gerakan Islam bekerjasama
dengan lembaga wakaf telah berusaha untuk meningkatkan kendali Muslim di dalam
lingkungan Al-Haram
Asy-Syarif. Beberapa kegiatannya termasuk memperbarui dan merenovasi
kembali bangunan-bangunan yang terbengkalai.
Saat ini, imam utama
dan pengurus Masjid Al-Aqsa adalah Muhammad Ahmad
Hussein. Ia diangkat menjadi Mufti Besar Yerusalem pada tahun 2006
oleh Presiden PalestinaMahmud Abbas. Imam-imam lainnya termasuk Syekh
Yusuf Abu Sneina, Mufti Palestina sebelumnya Syekh Ikrimah Sa'id Sabri, serta
mantan Imam Al-Aqsa Syekh Muhammad Abu Shusha yang sekarang tinggal di Amman, Yordania.
Kepemilikan Masjid Al-Aqsa merupakan
salah satu isu dalam konflik
Israel-Palestina. Israel mengklaim kekekuasaan atas masjid tersebut
dan juga seluruh Bukit Bait Suci, tetapiPalestina memegang
perwalian secara tak resmi melalui lembaga wakaf. Selama negosiasi di Pertemuan Camp
David 2000, Palestina meminta kepemilikan penuh masjid ini serta
situs-situs suci Islam lainnya yang berada di Yerusalem Timur.
Akses
Papan keterangan
dalam bahasa
Ibrani dan Inggris di luar Bait Suci menampilkan larangan menurut Taurat untuk memasuki area ini.
Sementara semua warganegara Israel
yang muslim diperbolehkan untuk masuk dan beribadah di Masjid Al-Aqsa, Israel
pada waktu-waktu tertentu menetapkan pembatasan ketat akses masuk ke masjid
untuk orang Yahudi, muslim Palestina yang
tinggal di Tepi Barat atau Jalur Gaza, atau pembatasan berdasarkan usia
untuk warga Palestina dan warganegara Israel keturunan Arab, seperti memberi izin masuk hanya untuk
pria yang telah menikah dan setidaknya berusia 40 atau 50 tahun. Wanita Arab
kadang-kadang juga dibatasi sehubungan dengan status perkawinan dan usia
mereka. Alasan Israel untuk pembatasan tersebut adalah bahwa pria Palestina
yang berusia tua dan telah menikah cenderung "tidak menyebabkan
masalah", yaitu bahwa secara keamanan mereka lebih tidak beresiko.
Banyak rabbi,
termasuk para ketua rabbi Israel sejak tahun 1967, telah memutuskan bahwa orang
Yahudi tidak boleh berjalan di Bukit Bait Suci karena
terdapat kemungkinan mereka menginjak Kodesh Hakodashim, yaitu
lokasi yang dianggap tersuci oleh orang Yahudi. Pembatasan dari pemerintah
Israel hanya melarang dilakukannya doa Yahudi di Bukit Bait Suci, tetapi tetap
mengizinkan orang Yahudi maupun non-Muslim lainnya untuk berkunjung pada
berjam-jam tertentu selama hari-hari tertentu dalam seminggu. Beberapa rabbi
dan para pemimpin Zionis telah
mengajukan tuntutan agar orang-orang Yahudi diperbolehkan untuk berdoa di
tempat itu pada hari-hari raya Yahudi. Meskipun Mahkamah Agung Israel telah
mendukung hak berdoa perorangan (bukan secara berkelompok), namun dalam
prakteknya polisi Israel melarang
orang Yahudi untuk berdoa "secara terang-terangan dalam bentuk apapun juga
di Bukit Bait Suci, meskipun bila hanya menggerak-gerakkan bibirnya saja ketika
berdoa".
Intifadah Al-Aqsa
Artikel utama untuk
bagian ini adalah: Intifadah Al-Aqsa
Pada tanggal 28 September 2000, Ariel Sharon dan para anggota Partai Likud beserta 1.000 orang penjaga
bersenjata, melakukan kunjungan ke kompleks Al-Aqsa. Hal ini membuat sekelompok
besar orang Palestina datang untuk memprotes kunjungan tersebut. Setelah Sharon
dan para anggota Partai Likud meninggalkan lokasi, demonstrasi meletus menjadi
kerusuhan dan sekelompok orang Palestina yang berada di Al-Haram Asy-Syarif mulai
melemparkan batu dan benda-benda lainnya kepada polisi anti huru hara Israel.
Polisi menembakkan gas air mata dan peluru karet kepada kerumunan demonstran,
sehingga melukai 24 orang. Kunjungan tersebut memicu gerakan perlawanan rakyat
Palestina selama lima tahun, yang biasa disebut sebagai Intifadah Al-Aqsa. Pada tanggal 29 September,
pemerintah Israel mengerahkan 2.000 polisi anti huru hara ke masjid ini.
Sekelompok orang Palestina yang meninggalkan masjid setelah salat Jumat mulai melempari polisi dengan
batu. Polisi kemudian menyerbu kompleks masjid serta menembakkan baik peluru
tajam maupun peluru karet kepada kelompok Palestina tersebut, sehingga jatuh
korban empat orang tewas dan sekitar 200 orang lainnya luka-luka.
Penggalian
Beberapa penggalian di wilayah Masjid
Al-Aqsa terjadi sepanjang tahun 1970-an. Tahun 1970, pemerintah Israel memulai
penggalian intensif langsung di bawah masjid pada sisi selatan dan baratnya.
Pada tahun 1977, penggalian berlanjut dan sebuah terowongan besar dibuka di
bawah ruangan ibadah wanita, serta sebuah terowongan baru digali di bawah
masjid, mengarah dari timur ke barat pada tahun 1979. Selain itu, Departemen
Arkeologi yang berada di bawah Kementerian Agama Israel, juga menggali sebuah
terowongan di dekat sisi barat masjid pada tahun 1984.
Pada bulan Februari 2007, Departemen
tersebut memulai situs penggalian untuk mencari peninggalan arkeologi di sebuah
lokasi di mana pemerintah ingin membangun kembali sebuah jembatan penyeberangan
yang runtuh. Situs ini berjarak 60 meter dari masjid. Penggalian memicu
kemarahan di banyak negara dunia Islam, dan Israel dituduh telah mencoba
menghancurkan pondasi masjid. Ismail Haniya, saat itu Perdana
Menteri Otoritas Nasional Palestina dan pemimpin Hamas, menyerukan
Palestina untuk bersatu dalam menentang penggalian, sedangkan Fatah menyatakan
bahwa mereka akan mengakhiri gencatan senjata mereka dengan Israel. Israel
membantah semua tuduhan tersebut, dan menyebutnya sebagai hal yang
"menggelikan"
0 komentar:
Posting Komentar